MASIH DALAM TAHAP RENOVASI / UNDER CONTRUCTION

Jembatan Suramadu

Salah satu icon Surabaya dan Madura

Bundaran HI Jakarta Indonesia

Salah satu icon kota Jakarta

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 22 Juni 2011

Dari Kanoute untuk Palestina

Sebagai muslim yang taat, penyerang Sevilla Frederic Kanoute tergugah dengan penderitaan Palestina. Usai mencetak gol ke gawang Deportivo La Coruna striker asal Mali itu membuka bajunya untuk memperlihatkan kaos dalamnya yang bertuliskan "Palestine".




Usai menjaringkan bola ke gawang lawan, Kanoute membuka bajunya untuk memperlihatkan kaos dalamnya yang bertuliskan "Palestine". Ini tentu saja dimaksudkan sebagai dukungan pada Palestina yang tengah digempur oleh pasukan Israel di Gaza. Reuters/Marcelo del Pozo.










Seperti banyak kisah kecintaanya pada islam, Frederic Kanoute pun mendukung perjuangan rakyat Palestina. Meski ia harus mendapatkan kartu kuning karena aksinya itu. Reuters/Marcelo del Pozo.











Kanoute memang dikenal sebagai muslim yang taat dan kerap bangga menunjukkan identitas keyakinannya itu. Pada tahun 2007 misalnya, pemain terbaik Afrika 2007 ini pernah memberikan gajinya selama setahun, sebesar 700.000 dolar AS atau sekitar Rp 7 miliar untuk menyelamatkan masjid terakhir yang ada di Sevilla. Reuters/Marcelo del Pozo.














Dari Frederic Kanoute untuk Palestina. Reuters/Marcelo del Pozo.

Anak Berjilbab dan Ibu Ber'TankTop'


oleh Risa Hermawati
Sore ini aku pulang kerja diiringi dengan gerimis. Memang sedang musim hujan jadi tiap pulang hampir selalau ditemani hujan. Seperti biasa aku naik angkot dari kantor menuju terminal dikotaku untuk transit. Memang aku kerja termasuk diluar kota, dulu kota dingin dilereng pegunungan itu masih jadi satu kabupaten dengan kotaku, tetapi sekarang sudah menjadi kota sendiri. Dari tempat mangkal angkot ini ke terminal kotaku tidak lama sih hanya sekitar tiga puluh menitan itupun.

Di saat orang lebih memilih naik motor, aku tetap setia dengan angkot, karena untuk beli motor tidak ada, kalau kredit, aku tidak terlalu suka. Biarlah hitung-hitung sebagai rejeki para sopir angkut yang semakin hari semakin seret saja, dari terminal kotaku kekota dingin ini sering pemumpang hanya dua atau tiga orang saja, bahkan tak jarang aku sendirian. Seperti mencarter atau naik taxi dengan ongkos murah jadinya. Kalau angkotnya ngetem di pangkalan untuk cari penumpang ya harus sabar, toh ada jadwalnya, setiap beberapa menit. Seperti kali ini sudah hampir sepuluh menit aku duduk di angkot ini, tapi belum penuh juga.

Ketika di belakang tampak angkot lain yang muncul, yang kunaiki pun beranjak pergai. Pas di lampu merah kulihat tiga orang perempuan dan seorang balita naik, jadi lumayan cukup penuh walau tidak sampai sesak.

Biasanya aku tidak terlalu perhatian pada orang, tapi kali ini menarik sekali. Tiga perempuan ini membuatku ingin mengamati dan sedikit nguping. Bukan niatan sih, tetapi karena duduk pas disebelahku jadinya terdengar. Yang satu perempuan setengah baya dengan busana muslim umumnya ibu-ibu, jilbab pendek, ya umumlah. Seorang lagi perempuan masih belia, mungkin masih SMP, pakaiannya wajar, celana jaens dengan bajau lengan panjang memangku balita perempuam yang kutaksir umurnya baru 2 tahun.

Lucu sekali balita ini, bercelana panjang, berjaket karena dingin dan berjilbab sehingga tampak lebih cantik dan lucu. Perempuan satunya lagi, masih cukup muda mungkin masih dua puluh limaan, bercelana ketat penjang seperdelapan, dengan tank topnya, sedikit ditutup syal. Dari pembicaraan mereka ternyata balita itu anak dari perepmuan yang muda, sedang yang memangku adalah tantenya dan ibu setengah baya adalah neneknya.

Apa yang menerik dari mereka, tentu penampilannya. Sang nenek berkata, “ kamu memakaikan baju si kecil ini kok gak macing sih, lihat celana dan vbaju biru, kaos kaki hijau sepatu putih dan jilbab pink, apa tidak ada kaos kaki dan jilbab yang sesuai? “. Sang ibu muda meimpali “ gak-apa-apa bu yang penting hangat. Dia sendiri yang memilih jilbabnya, jilbabini kesukaanya, tidak mau yang lain.

Setiap akan di ajak keluar pasti dia akan berkata “ Ma mau pergi ya, Adek pakai jilbab ini ya? Biar tambah cantik”, gitu Bu pintanya jadi kuturuti saja. Dia ini paling suka kalau dijilbabi Bu. Makanya sekarang mau kucarikan model yang lucu dan warna warni, biar tambah suka. Tiba-tiba si balita ini berkata “ ya nek adek cuka pake jilbab, tapi adek gak pelnah lihat mama pake.” Ibu muda itu hanya tertawa saja.

Aku yang di sampingnya tertegun. Anak kecil ini begitu suka dengan jilbab. Padahal dia belum ngerti tentang kewajiban berjilbab, dan jelas dia belum waijb memakainya, karena masih kecil. Kontras sekali dengan ibunya, dandananya saja sama sekali tidak mencerminkan seorang muslimah, tetapi anaknya didandani dengan benar. Astagfirullah.

Aku beristigfar dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ibu kalah dengan balita. Ya masih syukurlah ibu ini mendandani anaknya dengan benar, sehingga si anak suka, dan terbiasa dengan jilbab, semoga kelak ketika dia dewasa tahu betul artinya berjilbab. Lalu mengapa ibunya sendiri belum, malah masih pakai pakaian seksi. Pakah si anak hanya sekedar didandani saja, supaya lucu dan lebih hangat karena kepala dan teling terlindungi dari angin. Bagaimana dengan neneknya, mengapa tidak mengajarkan sesuatu yang baik pada kedua putrinya ini. Ah entahlah akau tidak berani menilai.

Yang jelas yang kulihat adalah pemandangan yang unik. Melihat para umahat dengan putrinya walau masih bayi tapi sudah dijilbabi itu biasa, melihat seorang ibu mengantar anaknya sekolah dengan pakaian busana muslim itupun biasa karena sekolahnya memang mewajibkan berseragam demikian, walau mungkin orang tuanyapun belum berpakaian secara benar.

Tetapi ini seorang balita kecil berjilbab lucu dan rapi sementara ibunya pusar, lengan dan ketiaknya masih diumbar ke mana-mana. Apa tidak terbalik tuh. Harusnya kan ibunya dulu karena dia sudah berkewajiban untuk menutup aurat dengan benar. Ah sudahlah setidaknya dia tidak mengajarkan anaknya berpakaian seksi juga..

Di pertigaan jalan perbatasan kota mereka turun, sekilas tampak pinggang bawah ibu muda itu, karena celana yang dipakai model melorot (ini hanya istilahku) tentulah lelaki di ujung pintu angkot ini melihatnya. Aku hanya bisa menghela nafas dan beristigfar kembali. Dalam hati aku berdo’a sambil memandangi mereka “Ya Allah semoga kau berikan hidayah kepada ibu muda ini agar bisa menjadi contoh yang baik bagi putrinya.

Jilbab bukanlah sekedar pakaian penutup aurat, tapi juga hijab bagi jiwa-jiwa pemakainya agar selalu berpegang di jalan –Mu, dan semoga sikecil yang lucu dan cantik itu kelak mengerti benar apa yang menjadi kesukaanya untuk berjilbab adalah syariat agama hingga dia akan tetap menjaganya dan tidak terpengaruh budaya zaman yang semakin edan ini. Amiien.....

Alhamdulillah hujan reda dan sudah sampai di terminal aku pun turun dari angkot ini.

Seindah Mentari Pagi

Pagi itu di dapur....
" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan lamunanku.
" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.
" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.
" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.
" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu, tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap Asih sebagai anggota keluarga sendiri.

Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja. Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau... mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah berpikir ke arah sana.

" Sarah,...subhanallah nak...", aku tak dapat meneruskan kata-kataku.
" Ummi kaget Sarah,... tapi sekaligus juga bangga ", kataku seraya memeluk Sarah yang masih tertunduk di hadapanku. " Alhamdulillah nak.... Insya Allah kalau nanti abi sudah pulang akan ummi diskusikan dengan abi. Nah,...mau ngomong begitu aja kog dari tadi pakai takut-takut segala sih sayang.. ? ", godaku.
Sarah masih menunduk sambil tersenyum.
" Sekarang masalahnya Sarah mau nikah sama siapa ?", tanyaku. "Atau Sarah pingin abi dan ummi yang carikan calonnya ? ".
" Mmhh... sebenarnya Sarah sudah punya calon ummi.... ", katanya perlahan.
" Heh... ?? Sarah sudah punya calon... kog abi dan ummi nggak tahu ? ".

Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah, masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin, teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin, ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.

Tanpa memperdulikan keterkejutanku Sarah kembali meneruskan kata-katanya.
" Ummi, ikhwan itu sudah nikah hampir 6 tahun, tapi sampai sekarang belum dikasih amanah oleh Allah, isterinya punya fisik yang lemah, sering sakit-sakitan. Sarah berpikir ummi,.... Sarah ingin bisa menolong keluarga itu untuk sama-sama berjihad di jalan Allah. Sarah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah tangga dan insya Allah nanti Sarah bisa melahirkan jundi-jundi yang bisa dididik sama-sama. Ummi ingat ya ummi,... Sarah insyaAllah mau melakukan ini semua hanya karena Allah, Sarah cuma mau mencari ridho Allah saja ummi.... Sarah sudah istikharoh berkali-kali dan Sarah makin hari makin mantap aja ".

Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....

" Ummi,.... ", panggil Sarah perlahan.
" Sarah,...sekarang ummi mau tanya ya nak... ".
" Bagaimana awal mulanya kog tiba-tiba Sarah ingin menikah dengan ikhwan itu ? ".
" Begini ummi,...Yasmin bilang kalau mbak Asma, nama isteri masnya itu, pernah bilang ke Yasmin bahwa mbak Asma ingin suaminya menikah lagi ".
" Hhmmm.... terus.... ".
" Soalnya mbak Asma tahu benar kalau suaminya sudah ingin punya jundi sementara mbak Asma sendiri sampai sekarang belum juga dikasih kesempatan oleh Allah untuk hamil. Kasihan mbak Asma ummi,...sudah fisiknya lemah, kesepian lagi. Sehabis Yasmin cerita begitu Sarah jadi kepikiran, Sarah ingin membantu keluarga itu ummi.... Sarah pingin bisa bantu-bantu mbak Asma, nemenin mbak Asma, insyaAllah nanti Sarah juga bisa melahirkan jundi yang bisa dididik sama-sama. Khan Ummi sendiri yang bilang kalau untuk menuju kebangkitan Islam memerlukan generasi yang berkualitas, insya Allah nanti akan lahir generasi-generasi robbani ."

Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka. Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa. Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain. Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera makan. Tiba-tiba...

" Assalamu'alaikum,...", suara Zakly kudengar dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam,... loh kog sudah pulang ? ", tanyaku.
" Iya mi, dosennya nggak ada... lagi pula siang ini sudah nggak ada kuliah lagi kog ", jawab Zakly seraya mencium tanganku.
" Ayo makan sekalian,...ummi baru saja mulai ".
" Sebentar mi, cuci tangan dulu... ".

Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.

" Ummi,.... ummi kenapa sih...? ", tanya Zakly.
" Oohh...nggak,... Zakly bilang apa tadi temen Zakly kenapa ? ".
" Nah khan... ketahuan deh kalo ummi nggak dengerin Zakly ngomong ".
" Nggak,.. kenapa tadi.... ? ".
" Sejak tadi pagi Zakly perhatikan ummi hari ini agak lain deh... ".
" Ah masa sih,... itu khan perasaan Zakly saja.. ".
" Bener kog... tadi pagi di garasi mas Yazid saja tanya sama Zakly, kog ummi pagi ini agak diam ya... nggak secerewet biasanya ".
" Eh,...ghibah ih,...ngomongin umminya ", sahutku sambil tersenyum.
" Bener kog... ummi nggak sakit khan ?? ".
" Nggak ummi nggak apa-apa kog... ".
" Kalo nggak apa-apa kog ummi jadi agak lain ayo !", desak Zakly masih dengan ngototnya.
Sifat Zakly ini menurun dari abinya, yang nggak akan berhenti bertanya kalo belum mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan hatinya.
" Ummi...ummi cuma pingin abi cepet pulang, gitu aja.." sahutku perlahan.
" Ha.... ha.... ", meledak tawa Zakly.
" Lho kog ketawa sih ? ",tanyaku.
" Abis ummi lucu, kaya pengantin baru aja deh.... dikit-dikit kangen pingin ketemu abi ".
" Yah wajar dong.... namanya juga suami isteri ".
" Tapi ummi lucu deh... kita khan pura-pura nggak tahu aja, kalau sebenarnya di belakang kita ummi tuh kolokan banget sama abi... ", goda Zakly lagi.
" Hhhmmm.... kata siapa ? ", tanyaku tak mau kalah.
" Yah ummi...ngaku aja deh,...kalau ummi khan masih manja banget sama abi, ummi kita khan udah pada gede-gede, sudah ngerti ", kata Zakly masih sambil ketawa.
" Udah ah,... ketawa aja tersedak lho nanti maemnya.. ",sahutku.
" Mmmhh...ummi nggak mau ngakuin tuh..., sabar dong ummi insya Allah besok abi khan sudah pulang ", goda Zakly lagi.
" Udah,... cepat dihabisin maemnya Zakly... ".
" Iya nyonya besar.... ", kata Zakly sambil tersenyum-senyum menggoda.
" Ummi,...", panggil Zakly lagi.
" Apa lagi sholeh ?? ".
" Mmhh... Zakly nanti ingin kalau punya rumah tangga seperti rumah tangga abi dan ummi.... ".
" Kenapa memangnya... ? ".
" Sepertinya abi sama ummi tuh seneenng terus, nggak pernah Zakly lihat abi sama ummi ribut, meskipun sudah tua-tua tapi masih seperti pengantin baru saja ".
" Hhmmm... kalian khan nggak tau saja, pernah juga abi dan ummi berselisih, karena beda pendapat, itu wajar dalam rumah tangga ".
" Oya... kog Zakly nggak tahu.. ".
" Aduh anakku sholeh.... masa sih kalau abi sama ummi lagi nggak enakan harus lapor sama kalian, nggak khan ?".
" Iya.. ya.... ".
" Itu rahasia abi dan ummi, kita selesaikan berdua, diskusi, dibahas, saling menghargai pendapat lawan, cari jalan tengahnya ".
" Terus mi.... ".
" Ya sudah,...berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, dan saling mengalah. InsyaAllah keadaan cepat normal lagi, baikan lagi. Kunci yang penting Zakly,... kalau nanti Zakly sudah berkeluarga, jangan pernah kalian ribut di depan anak-anak, karena nggak baik buat perkembangan jiwa mereka. Selesaikan berdua ketika sudah sama-sama tenang sehabis sholat misalnya ".
" Hhmmm... itu makanya abi sama ummi tetap awet sampai sekarang yah ? ".
" Yah... alhamdulillah nak, abi dan ummi saling cinta meskipun dulu kita nggak pakai istilah pacaran ".
" Iya mi,... Zakly tahu itu....subhanallah....
"Iya,... Islam sudah bikin aturan yang benar dan baik tinggal tergantung kita mau ikut atau nggak ", kataku lebih lanjut. Sudah sekarang cepat habisin maemnya... ".
" Jazakillah ya ummi buat materinya siang ini.... ".
" Hhmm... waiyakallahu.. ".

Dan tiba-tiba.... kring... dering suara telfon.
" Hallo,... ", angkat Yazid.
" 'Alaikumussalam,... oh abi nih... Iya bi,... bener nih nggak usah dijemput ?. Iya-iya....insya Allah.... 'alaikumussalam... ".
" Dari abi, Yazid ?? ", tanyaku.
" Iya,... seminar abi ternyata selesai hari ini, abi sekarang ada di airport sebentar lagi pulang ".
" Lho,... abi nggak minta dijemput ? ", tanyaku.
" Kata abi, abi mau naik taksi saja biar cepat, kalau nunggu dijemput kelamaan ".
" Insya Allah sebentar lagi abi pulang ". harapku.

Selesai sholat isya'....

" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ", tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi... kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.

" Ummi,..ini nih pacar ummi udah datang...", seru Zakly.
" Zakly,...apa-apa an sih ya...", kataku sambil melotot.
" Alah.. ummi, tadi siang bilang kangen, pingin abi cepet pulang, sekarang malah berdiri disitu aja... ", goda Zakly lagi.
" He.. he.... memang tadi siang ummi kenapa Zakly ", tanya suamiku.
" Tadi siang nih bi.... ".
" Udah Zakly,... abi baru aja dateng,... cuci tangan dulu deh bi,.. terus kita maem ", potongku langsung.
" Iya bi,.. kita tadi udah laper nungguin ", kata Sarah.

Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.

" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata Fadhil

Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ", kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku mengalihkan pembicaraan.

Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.

Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat, sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku pada mereka.

Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata, ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku. Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah nanti selepas shubuh...

Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku, Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....

" Mas,... mas masih ngantuk ? mau tidur lagi ? ".
" Nggak kog,... mas nggak ngantuk, kenapa de' ? ".
" Mmhhh... ada yang mau ade' omongin sama mas... ".
" Iya,.. tentang apa de' ? ", tanya suamiku seraya menarikku untuk duduk di hadapannya.
" Mmhh.. ini tentang Sarah mas,... ".
" Iya,.. ada apa memangnya sama Sarah ? ".

Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau, karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-uneg di hatiku pada suamiku.

" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".

Sampai sini air mataku mulai menetes...Astaghfirullah...Ampuni aku ya Allah,... aku terlalu melibatkan perasaan dan emosiku. Sarah hanyalah milik-Mu, dan Engkau yang akan menjaganya... " Ade',..ade' inget khan kalau rasa cinta kita terhadap keluarga, harta dan sebagainya tidak boleh melebihi rasa cinta kita terhadap Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya ? ",tanya suamiku.
Aku hanya mengangguk....
" Jadi insyaAllah kitapun akan mendapat ridho Allah, dari apa yang dilakukan Sarah nanti...., karena kita dengan ikhlas menyetujui Sarah menikah hanya karena kita juga sama-sama mencintai-Nya ".

Kami sama-sama terdiam sesaat. Kutarik nafas panjang...
" Mas,...", panggilku lirih.
" Ya sayang... gimana ? ", tanya suamiku,
" Iya mas...ade' sudah tenang sekarang,...kalau tadi meskipun ade' setuju tapi tetap ada yang ganjal rasanya ".
" Kalau sekarang.. ? ", tanya suamiku.
" Ade' sekarang sudah ikhlas mas,... hati ade' sudah plong rasanya, ade' sadar ada Allah yang akan menjaga Sarah, Sarah kan cuma milik Allah ya mas ?? ".
" Nah,... gitu dong... insya Allah Sarah, Asma dan Farid bisa membentuk keluarga sakinah, yang bisa mencetak generasi rabbani, kita tinggal mendo'akan mereka saja de'...".
" Tapi mas,... ", kataku tertahan.
" Tapi kenapa lagi ? masih belum sreg juga ?
" Bukan begitu,... cuma mas kog kayanya begitu gampang memutuskan masalah ini, kayanya mas sudah tau tentang ini sebelumnya ", kataku penuh curiga.
" Mmmhhh... sebenernya sebelum ade' cerita tadi mas udah tau kog de'... ", kata suamiku.
" Hah.... ?? ", tanyaku heran.
" Mmmhh.. sebelum mas ke Jakarta Farid dateng ke kantor mas, sudah diskusi dengan mas... ".
" Lho.. ??? ".
" Iya,... Mas juga tahu siapa Farid itu, juga isterinya, tapi waktu itu mas sorenya udah buru-buru mau berangkat mas pikir nanti saja pulang dari Jakarta cerita ama ade', terus pas ade' lagi belanja sama Asih mas interlokal dari Jakarta, yang ada di rumah Sarah, mas tanya sama Sarah. Ternyata Sarah juga sudah tahu dari Yasmin, mungkin Asma sudah minta Yasmin bilang ke Sarah, begitu de' ", penjelasan suamiku.
" Lho,.. Sarah kog nggak bilang kemaren sama ade' kalo mas sebenarnya sudah ngomong sama Sarah duluan ?", tanyaku masih kebingungan.
" Iya,... mas bilang sama Sarah, supaya Sarah bilang sama ade' saja, tanya pendapat ade' gimana gitu... . Khan nggak enak kalau tahu-tahu mas udah langsung ngasih persetujuan duluan padahal ade' masih belum tahu apa-apa", kata suamiku lagi.

Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu. Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas... ", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.

Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar ", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya. Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ", goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ", kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ? ", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".

Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....

Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota
'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaama...
Amiin Ya Rabbal 'aalamiin....

Kasih Sepanjang Jalan

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...

Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.

Lantunan Cinta Sang Pencinta

oleh: Hanun Al-Qisthi

Lewat ekor mata, aku tau matanya yang sipit kecoklatan memandangku lagi. Tetap tajam namun lembut, seperti biasanya. Bibirnya terbuka hendak berkata-kata, namun mungkin rasa segan membuatnya terkatup lagi. Dengan handuk putih bertengger di bahu, ia membalikkan badan membelakangiku. Pergi. Aku diam sejenak lalu mengoleskan metal polish pada baritone kesayanganku, menggosoknya sampai berwarna hitam dan melapnya sampai bersih. Pantulan sinar dari tutsnya menandakan baritone ini selalu terawat dengan rapi. Irio dan Laode tersenyum iri padaku. Baritone mereka tidak pernah semengkilap milikku, padahal kami membersihkannya bersama-sama dua kali seminggu. “Ngiri ya? Hehehe… Nggosoknya yang bener dong , kan udah aku ajarin”, ujarku. Mereka hanya bisa memajukan bibirnya 2 cm.

“Murid lesnya masih banyak mbak Wina?”, si pemilik mata sipit sudah berdiri di depanku saat kudongakkan kepala. Senyumnya mengembang, memamerkan deretan gigi yang kecoklatan karena nikotin.

“Masih, Kak. Sekarang malah ada murid yang baru. Alhamdulillah…” Kumasukkan baritone ke dalam plastik pembungkus lalu meletakkannya dengan hati-hati ke dalam peti. Aku berlalu dari hadapannya tanpa kata-kata. Aku tau mulutnya terbuka lagi, namun aku segera berlari menyusul teman-temanku menuju gerbang kampus. Kugapai bahu Asma lalu tawa kami berderai seperti biasanya. Dari kejauhan kulihat ia melindungi wajahnya dari sorotan mentari senja. Pandangannya tertuju padaku.
*********

Aku sangaaaaat mencintai marchingband. Karena kecintaan itulah tiga hari kemudian aku tetap melangkahkan kaki ke kampus AKADEMI METEOROLOGI DAN GEOFISIKA. Padahal pakaian yang kukenakan bukan lagi training dan kaos olahraga kampus seperti biasanya. Hari itu adalah hari perdanaku memakai jilbab. Ya, baju kurung yang mengulur dari bahu sampai mata kakilah yang kukenakan. Kulihat puluhan pasang mata menatapku terpana saat aku memasuki ruang latihan. Apel pembukaan baru dimulai. Dengan rasa percaya diri yang kukumpulkan, kulewati puluhan tatapan sinis, merendahkan, dan mengucilkan itu. Teman-temanku seakan tak lepas melucutiku dari ujung kerudung sampai kaki. Mata sipit itu memandangku dengan tatapan tidak seperti biasanya, tapi aku tetap berjalan ke arahnya.

“Kak Wirawan, mulai hari ini boleh nggak saya latihan pake gamis?”, agak sedikit gemetar aku meminta izinnya.

“Ngapain pake gituan? mbak mau pindah kuliah ke Mekkah? ”, matanya membulat tanda tak setuju. “Mbak Wina aneh banget!”

Aku terkejut mendengar kata-katanya. Suara lembut dengan tatapan menyejukkan itu sudah tiada. “Ya sekarang pakaian saya di luar jam kuliah kayak gini Kak. Boleh gak saya tetap menjadi anggota Korps Marching Band AMG dengan pakaian seperti ini ??”. Kutinggikan nada suaraku pada pelatih alat tiup itu, aku mulai kesal dengan responnya. Apalagi teman-temanku mulai mengejekku dengan kata-kata yang membuat gatal telinga.

“Nggak boleh!! Kalo mau tetep latihan, tolong pake pakaian seperti biasa!!”, keputusan Kak Wirawan sudah terucap.

Kuhela nafas dalam-dalam,”Ya sudah Kak. Tolong cari peniup baritone untuk menggantikan posisi saya. Saya keluar!”

Gontai tapi pasti aku keluar dari ruangan itu. Kepalaku tertunduk. Hatiku tertohok oleh perasaan yang tak menentu. Air mataku mengalir, tapi sungguh, aku tak ingin mereka melihatnya.

“Win, Wina!!! Sebentar !” Teriakan Zakiy menahanku di pintu rektorat, “Kak Wirawan mau ngomong sebentar.” Kuikuti langkah komandan marchingband itu ke ruang tamu. Dari ruang latihan teman-teman antusias mencari tau apa yang terjadi. Mereka bergonta-ganti melongokkan wajah ke arah kami.

“Ada apa Kak?”, tanyaku singkat.

“Kenapa mbak Wina harus pake pakaian kaya gitu? Jangan ikut kaum ekstrem kanan, yang biasa ajalah ngejalanin hidup”, lelaki paruh baya itu menghisap tembakaunya dalam-dalam. Dia tampak bingung. Keringat tak berhenti mengalir dari dahinya. “Ini kan memang pakaian buat muslimah Kak. Saya tidak mau Allah enggan melirik saya karena saya tidak bersegera menjalankan perintahNya, padahal saya sudah tau itu. Saya lebih senang jika manusia yang membenci saya. Jadi tidak masalah kalau saya keluar dan dihujat, yang penting Allah ridha pada saya.”

Mata sipit itu bergerak kesana-kemari, mencari kata yang bijak untuk diucapkan, “Ya sudah, silahkan latihan lagi. Sulit untuk menemukan peniup baritone seperti mbak.” Ia menggilas puntung rokoknya dengan paksa. Aku tau ia menatapku sejenak sambil menelan kekecewaannya, lalu pergi tanpa berucap.
*********
Siang itu, di bawah panggangan matahari kami berlatih display untuk acara 17 agustus. Seminggu lagi kami akan tampil di BMG pusat. Semua atasan menunggu hari itu, karena kami akan tampil perdana. Sudah 4 jam wajah-wajah kami terbakar panasnya matahari Jakarta. Suara Mega sebagai field commander terdengar makin parau. Bibirnya pucat, wajahnya bias. Aku juga merasakan mulutku baal, mati rasa. Tapi senyum tetap merekah menghiasi bibir-bibir barisan horn line, percussion line dan colour guard. Kami bangga. Kamilah angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Namun jauh di lubuk hati, rasa yang tak karuan itu makin terasa. Dan aku ingin segera menumpahkannya.

“Kak saya mau keluar marchingband”, ucapku pada para pelatih seusai latihan, termasuk Kak Wirawan. Bola mata mereka membesar. Lagi-lagi aku harus menjelaskan. Dan lagi-lagi aku harus menerima cacian dan hujatan. Namun niatan untuk tunduk pada hukum syara’ membuatku sangat berani menjawab dan melewati makian itu. Seluruh pelatih dan teman-teman menghujatku. Tidak ada yang bisa menerima bahwa alasanku keluar adalah karena aku tidak mau lagi berikhtilat, tasyabbuh, dan meninggalkan kewajiban berjilbab saat tampil. Aku keluar dari ruang latihan dengan iringan koor “Huuu..” dari teman-temanku. Bisa dibayangkan?? Teman yang sudah hampir tiga tahun bersama, dengan mudah membenciku hanya karena aku keluar marching band. Padahal aku melakukan itu karena aku mencintai Rabbku!

Mata sipit Kak Wirawan memandangku sayu. Dadaku sesak. Gerimis di hatiku makin deras. Sungguh aku sangat mencintai marchingband, alat tiupku, dan teman-temanku. Aku ingin tetap berlatih dengan bangga sebagai angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Aku ingin sebuah lambang kehormatan tersemat pada seragamku. Dan terlebih karena aku ingin melihatnya. Melihat lelaki paruh baya itu dengan tatapan lembutnya. Melihatnya menantiku merapikan alat di ujung ruang. Menikmati tawa dan senyumnya yang selalu terkembang untukku.
********
Di sinilah aku sekarang, empat hari setelah hari itu. Berdiri melihat kawan-kawanku berlatih drumband dari luar pagar kampus. Mereka semua tetap mendiamkan dan menghujatku. Tak ada yang sadar aku memperhatikan mereka, karena bagi mereka aku tak lagi berguna. Di tanganku ada lembaran buletin yang siap kuedarkan. Aku akan mengopinikannya pada adik-adik kajianku, yang tengah bersemangat menyongsong kemuliaan islam di depan mata. Dari kejauhan kulihat Kak Wirawan tengah menatapku, aku tersenyum simpul. Bagaimanapun, lelaki dengan dua putra itu sempat menjadi bunga tidurku sampai sekian waktu. Langkah kaki membawaku menjauh dari sana, dari marching band, Kak Wirawan, dan hiruk pikuk dunia.

Kulabuhkan lantunan cinta ini hanya padaMu Ya Rabb, karena aku mencintaiMu lebih dari apapun…