MASIH DALAM TAHAP RENOVASI / UNDER CONTRUCTION

Jembatan Suramadu

Salah satu icon Surabaya dan Madura

Bundaran HI Jakarta Indonesia

Salah satu icon kota Jakarta

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 22 Juni 2011

Kasih Sepanjang Jalan

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...

Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.

Lantunan Cinta Sang Pencinta

oleh: Hanun Al-Qisthi

Lewat ekor mata, aku tau matanya yang sipit kecoklatan memandangku lagi. Tetap tajam namun lembut, seperti biasanya. Bibirnya terbuka hendak berkata-kata, namun mungkin rasa segan membuatnya terkatup lagi. Dengan handuk putih bertengger di bahu, ia membalikkan badan membelakangiku. Pergi. Aku diam sejenak lalu mengoleskan metal polish pada baritone kesayanganku, menggosoknya sampai berwarna hitam dan melapnya sampai bersih. Pantulan sinar dari tutsnya menandakan baritone ini selalu terawat dengan rapi. Irio dan Laode tersenyum iri padaku. Baritone mereka tidak pernah semengkilap milikku, padahal kami membersihkannya bersama-sama dua kali seminggu. “Ngiri ya? Hehehe… Nggosoknya yang bener dong , kan udah aku ajarin”, ujarku. Mereka hanya bisa memajukan bibirnya 2 cm.

“Murid lesnya masih banyak mbak Wina?”, si pemilik mata sipit sudah berdiri di depanku saat kudongakkan kepala. Senyumnya mengembang, memamerkan deretan gigi yang kecoklatan karena nikotin.

“Masih, Kak. Sekarang malah ada murid yang baru. Alhamdulillah…” Kumasukkan baritone ke dalam plastik pembungkus lalu meletakkannya dengan hati-hati ke dalam peti. Aku berlalu dari hadapannya tanpa kata-kata. Aku tau mulutnya terbuka lagi, namun aku segera berlari menyusul teman-temanku menuju gerbang kampus. Kugapai bahu Asma lalu tawa kami berderai seperti biasanya. Dari kejauhan kulihat ia melindungi wajahnya dari sorotan mentari senja. Pandangannya tertuju padaku.
*********

Aku sangaaaaat mencintai marchingband. Karena kecintaan itulah tiga hari kemudian aku tetap melangkahkan kaki ke kampus AKADEMI METEOROLOGI DAN GEOFISIKA. Padahal pakaian yang kukenakan bukan lagi training dan kaos olahraga kampus seperti biasanya. Hari itu adalah hari perdanaku memakai jilbab. Ya, baju kurung yang mengulur dari bahu sampai mata kakilah yang kukenakan. Kulihat puluhan pasang mata menatapku terpana saat aku memasuki ruang latihan. Apel pembukaan baru dimulai. Dengan rasa percaya diri yang kukumpulkan, kulewati puluhan tatapan sinis, merendahkan, dan mengucilkan itu. Teman-temanku seakan tak lepas melucutiku dari ujung kerudung sampai kaki. Mata sipit itu memandangku dengan tatapan tidak seperti biasanya, tapi aku tetap berjalan ke arahnya.

“Kak Wirawan, mulai hari ini boleh nggak saya latihan pake gamis?”, agak sedikit gemetar aku meminta izinnya.

“Ngapain pake gituan? mbak mau pindah kuliah ke Mekkah? ”, matanya membulat tanda tak setuju. “Mbak Wina aneh banget!”

Aku terkejut mendengar kata-katanya. Suara lembut dengan tatapan menyejukkan itu sudah tiada. “Ya sekarang pakaian saya di luar jam kuliah kayak gini Kak. Boleh gak saya tetap menjadi anggota Korps Marching Band AMG dengan pakaian seperti ini ??”. Kutinggikan nada suaraku pada pelatih alat tiup itu, aku mulai kesal dengan responnya. Apalagi teman-temanku mulai mengejekku dengan kata-kata yang membuat gatal telinga.

“Nggak boleh!! Kalo mau tetep latihan, tolong pake pakaian seperti biasa!!”, keputusan Kak Wirawan sudah terucap.

Kuhela nafas dalam-dalam,”Ya sudah Kak. Tolong cari peniup baritone untuk menggantikan posisi saya. Saya keluar!”

Gontai tapi pasti aku keluar dari ruangan itu. Kepalaku tertunduk. Hatiku tertohok oleh perasaan yang tak menentu. Air mataku mengalir, tapi sungguh, aku tak ingin mereka melihatnya.

“Win, Wina!!! Sebentar !” Teriakan Zakiy menahanku di pintu rektorat, “Kak Wirawan mau ngomong sebentar.” Kuikuti langkah komandan marchingband itu ke ruang tamu. Dari ruang latihan teman-teman antusias mencari tau apa yang terjadi. Mereka bergonta-ganti melongokkan wajah ke arah kami.

“Ada apa Kak?”, tanyaku singkat.

“Kenapa mbak Wina harus pake pakaian kaya gitu? Jangan ikut kaum ekstrem kanan, yang biasa ajalah ngejalanin hidup”, lelaki paruh baya itu menghisap tembakaunya dalam-dalam. Dia tampak bingung. Keringat tak berhenti mengalir dari dahinya. “Ini kan memang pakaian buat muslimah Kak. Saya tidak mau Allah enggan melirik saya karena saya tidak bersegera menjalankan perintahNya, padahal saya sudah tau itu. Saya lebih senang jika manusia yang membenci saya. Jadi tidak masalah kalau saya keluar dan dihujat, yang penting Allah ridha pada saya.”

Mata sipit itu bergerak kesana-kemari, mencari kata yang bijak untuk diucapkan, “Ya sudah, silahkan latihan lagi. Sulit untuk menemukan peniup baritone seperti mbak.” Ia menggilas puntung rokoknya dengan paksa. Aku tau ia menatapku sejenak sambil menelan kekecewaannya, lalu pergi tanpa berucap.
*********
Siang itu, di bawah panggangan matahari kami berlatih display untuk acara 17 agustus. Seminggu lagi kami akan tampil di BMG pusat. Semua atasan menunggu hari itu, karena kami akan tampil perdana. Sudah 4 jam wajah-wajah kami terbakar panasnya matahari Jakarta. Suara Mega sebagai field commander terdengar makin parau. Bibirnya pucat, wajahnya bias. Aku juga merasakan mulutku baal, mati rasa. Tapi senyum tetap merekah menghiasi bibir-bibir barisan horn line, percussion line dan colour guard. Kami bangga. Kamilah angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Namun jauh di lubuk hati, rasa yang tak karuan itu makin terasa. Dan aku ingin segera menumpahkannya.

“Kak saya mau keluar marchingband”, ucapku pada para pelatih seusai latihan, termasuk Kak Wirawan. Bola mata mereka membesar. Lagi-lagi aku harus menjelaskan. Dan lagi-lagi aku harus menerima cacian dan hujatan. Namun niatan untuk tunduk pada hukum syara’ membuatku sangat berani menjawab dan melewati makian itu. Seluruh pelatih dan teman-teman menghujatku. Tidak ada yang bisa menerima bahwa alasanku keluar adalah karena aku tidak mau lagi berikhtilat, tasyabbuh, dan meninggalkan kewajiban berjilbab saat tampil. Aku keluar dari ruang latihan dengan iringan koor “Huuu..” dari teman-temanku. Bisa dibayangkan?? Teman yang sudah hampir tiga tahun bersama, dengan mudah membenciku hanya karena aku keluar marching band. Padahal aku melakukan itu karena aku mencintai Rabbku!

Mata sipit Kak Wirawan memandangku sayu. Dadaku sesak. Gerimis di hatiku makin deras. Sungguh aku sangat mencintai marchingband, alat tiupku, dan teman-temanku. Aku ingin tetap berlatih dengan bangga sebagai angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Aku ingin sebuah lambang kehormatan tersemat pada seragamku. Dan terlebih karena aku ingin melihatnya. Melihat lelaki paruh baya itu dengan tatapan lembutnya. Melihatnya menantiku merapikan alat di ujung ruang. Menikmati tawa dan senyumnya yang selalu terkembang untukku.
********
Di sinilah aku sekarang, empat hari setelah hari itu. Berdiri melihat kawan-kawanku berlatih drumband dari luar pagar kampus. Mereka semua tetap mendiamkan dan menghujatku. Tak ada yang sadar aku memperhatikan mereka, karena bagi mereka aku tak lagi berguna. Di tanganku ada lembaran buletin yang siap kuedarkan. Aku akan mengopinikannya pada adik-adik kajianku, yang tengah bersemangat menyongsong kemuliaan islam di depan mata. Dari kejauhan kulihat Kak Wirawan tengah menatapku, aku tersenyum simpul. Bagaimanapun, lelaki dengan dua putra itu sempat menjadi bunga tidurku sampai sekian waktu. Langkah kaki membawaku menjauh dari sana, dari marching band, Kak Wirawan, dan hiruk pikuk dunia.

Kulabuhkan lantunan cinta ini hanya padaMu Ya Rabb, karena aku mencintaiMu lebih dari apapun…

Minggu, 19 Juni 2011

Madura....Berbanggalah! KRI Celurit - 641, Menjadi Nama Kapal Perang TNI AL Yang Baru.


Darah Madura - Celurit, senjata khas Madura dipakai sebagai salah satu nama Kapal Perang Indonesia (KRI) TNI AL. Saat pertama mendengar nama ini, saya kaget juga sih. Karena biasanya nama KRI lebih diidentikkan dengan nama pahlawan atau nama pulau tertentu di Indonesia. Apalagi saya sebagai orang Madura, tentu senang sekaligus bangga.


Adalah perusahaan galangan kapal PT Palindo Marine Industri di Batam memproduksi kapal perang Indonesia yang akan digunakan TNI AL dalam mengamankan perairan laut Indonesia.

"Indonesia patut berbangga karena memiliki putra putri yang mampu membuat kapal perang," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro saat meninjau pembuatan kapal perang (jumat, 10/06/2011).
Menhan Purnomo mengatakan pembuatan kapal perang yang diberi nama KRI Celurit-641 itu merupakan terobosan baru mulai 2011 ini yang membanggakan dari industri galangan kapal di Batam. KRI Celurit-641 yang merupakan buatan lulusan Institut Teknologi Surabaya (ITS) itu dilengkapi dengan sistem persenjataan modern berupa Sensor Weapon Control (Sewaco), Meriam caliber 30 MM 6 laras sebagai Close In Weapon System (CIWS) serta peluru kendali.

Diperkirakan kapal itu mampu berlayar dengan kecepatan 30 knot dan menembakkan rudal C-705 hingga ratusan meter jauhnya. Kapal dengan teknologi tinggi itu memiliki spesifikasi panjang 44 meter, lebar 8 meter, tinggi 3,4 meter dan sistem propulasi fixed propeller 5 daun.

Menurut Purnomo, kontsruksi KRI Celurit cocok mengarungi wilayah NKRI yang dikelilingi pulau-pulau kecil. Desain dan teknologi yang dimiliki kapal diharapkan mampu membantu tugas TNI AL mengamankan NKRI dari segala ancaman di laut.
Di tempat yang sama, Panglima Komando Armada Kawasan Barat (Pangkoarmabar) Laksamana Muda TNI Marsetio mengatakan KRI Celurit-461 akan memberikan dampak psikologis positif bagi jajaran TNI AL karena Indonesia mampu membuat kapal perang canggih dan cepat.

"Kapal ini memiliki teknologi yang tidak kalah bagusnya dari kapal-kapal buatan negara lain. Indonesia patut berbangga karena mampu memproduksi kapal perang sendiri," kata Marsetio.

Kapal pertama yang diproduksi PT Palindo Marine dinamakan KRI Celurit, mengambil filosofi senjata tradisional Madura.

Dari bentuknya yang menyerupai melengkung seperti tanda tanya, memiliki arti orang Madura tidak pernah puas akan fenomena yang ada dan ulet juga semangat dalam mempertahankan harga diri. Diharapkan awak KRI Celurit pun memiliki jiwa dan semangat yang sama dengan arti celurit dari bentuknya.

Awak KRI Clurit juga diharapkan bijaksana dalam menggunakan senjata, sesuai dengan filosofi celurit yang tajam di bagian tengah, yang artinya penggunaannya merupakan jalan terakhir dari persoalan mempertahankan harga diri dan agama.

Filosofi ini yang ditanamkan dalam KRI Celurit, dengan harapan semangat tempur membela harga diri bangsa dan negara akan tetap tertanam terutama bagi seluruh personil TNI AL dan khususnya awak/ kru KRI Celurit - 641. Well done job, soldier! (Mad Topek)

Sumber data: Kantor Berita Antara

Madura Bakal Kembali Punya Kereta Api?


Darah Madura - Jalur kereta api (KA) di Madura resmi ditutup pada tahun 1987. Saat itu aku masih umur 7 tahun. Tapi terus terang belum pernah merasakan naik KA di Madura. Aku baru tahu rasanya naik KA saat kuliah di Jawa. ini pula yang menjadi bahan ledekan teman2 kuliah ku karena baru pertama kali naik KA! Hehehe

(KLIK DISINI Sejarah Kereta Api di Madura Beserta Album Foto KA Madura Tempo Doeloe!)

Setelah 24 tahun dan semua bekas stasiun KA di Madura nyaris gak ada lagi. Stasiun KA di Pamekasan yang memiliki kompleks stasiun paling besar dibandingkan 3 kabupaten lain di Madura, kini sudah beralih fungsi menjadi taman bermain, pasar rakyat, serta beberapa resto mini bagi wisata kuliner ikan bakar. Jaringan rel KA pun sudah mulai hilang. Baik karena tertutupi tanah, hilang dicuri orang hingga sudah ditempati bangunan warga sekitar.

Eh, di tahun 2011 ini sinyal KA bakal kembali diluncurkan di Madura mulai menguat. PT Kereta Api Indonesia (KAI) Wilayah Madura berniat mengaktifkan jalur KA dari Bangkalan (Madura Barat) hingga Sumenep (Madura Timur) setelah 2 tahun diresmikannya Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Madura - Pulau Jawa tersebut.

Upaya ini diharapkan dapat mereduksi peningkatan volume kendaraan di jalan arteri Madura (terutama jalur tengah) pasca Suramadu. Harus diakui, keberadaan Suramadu memang menyebabkan peningkatan luar biasa volume lalu lintas yang menyusuri jalanan di Madura.

Namun kiranya butuh banyak pertimbangan sebelum ide ini diwujudkan.

Pertama, singkronisasi antara moda angkutan KA dengan angkutan darat lain (MPU dan bus). Harus diingat, penutupan KA di Madura tahun 1987 dikarenakan KA kurang diminati. Saat itu warga lebih memilih angkutan lain yakni bus dan MPU. Bukan hanya masalah antusias warga apakah mau naik KA lagi atau tetap memilih bus/ MPU. Tapi juga harus memikirkan keberadaan ratusan MPU.

Kasus beberapa kali aksi demo dan penghadangan bus AKAS oleh para sopir, kernet dan pemilik MPU adalah bukti. Ketika Suramadu rampung, warga Madura lebih memilih lewat Suramadu tidak lewat Pelabuhan Kamal - Bangkalan lagi. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh para kru bus tersebut untuk mengangkut penumpang warga Madura lewat Suramadu. Otomatis kemudian mengurangi pemasukan bagu kru MPU. Timbullah aksi demo kru MPU. Nah, bagaimana jadinya nasib MPU kalau KA juga terealisasi?



Sekali lagi, jika KA terealisasi, maka akan mengurangi pemasukan bagi warga para pemilik MPU. Bila ini tidak dipikirkan sejak awal, konflik terbuka akan terjadi antara para pemilik MPU dengan PT KAI sendiri. Artinya, keberadaan KA tersebut jangan sampai mematikan moda transportasi lain yang sudah ada.
Bekas Jembatan Rel KA yang Masih Ada di Wilayah Kab Sampang
Bekas Jalur Rel KA di Wilayah Kab Sampang
Kedua, Persoalan jalur/ jaringan rel. Seperti yang saya bilang diatas, jaringan rel KA yang dulu pernah ada dari Bangkalan - Sumenep nyaris sudah banyak yang hilang (hal ini jika PT KAI tetap mau memakai jalur lama). Namun masalah ini bisa diselesaikan karena status jaringan/ jalur bekas rel tersebut adalah tanah milik negara. Artinya, pemerintah cukup memberikan ganti rugi bangunan secara layak.

Tentu hal yang harus dilakukan adalah sosialisasi secara masif bagi masyarakat Madura khusunya warga di sekitar bekas jalur rel KA yang lama tersebut. Terutama memberikan pemahaman akan arti penting moda angkutan KA bagi penunjang pengembangan Madura pasca Suramadu. Jika sosialisasi gagal, maka sepertinya resistensi akan sangat besar dari warga di sekitar bekas jaringan rel KA.

Harus dipahami kultur warga lokal, memberikan pengertian secara tepat itu penting guna memudahkan terealisasinya KA di MAdura lagi.

Ketiga, Pemerintah butuh investasi besar! Membuka kembali jaringan rel KA di Madura sama halnya dengan membuat jaringan KA baru! Butuh dana besar. Jaringan rel lama sudah tidak mungkin dipakai. Stasiun lama sudah tidah ada. Semua perangkat jaringan KA di Madura harus dibangun dari nol. Artinya, dana yang besar harus dipersiapkan. Belum lagi masalah ganti rugi pada persoalan poin kedua diatas.

Nah, sanggupkah PT KAI menyediakan dana investasi sedemikian besar tersebut? Atau perlu menggandeng 4 Pemkab di Madura guna mendanai investasi ini? Hmmm....sepertinya bakal berliku perjalanan untuk mengembalikan KA di Madura lagi. (Mad Topek)

Senin, 13 Juni 2011

Bantulah Kami

MOHON BANTUANYA UNTUK SEMUA PARA BLOGGER LUAR/DALAM NEGRI UNTUK SEKIRANYA MEMPROMOSIKAN SITUS INI SUPAYA TERCIPTANYA RADIO SHOLAWAT INDONESIA INI TIDAK SIA-SIA.

KRITIK DAN SARAN SANGAT KAMI BUTUHKAN DARI ANDA SEMUA